Rabu, 30 Juni 2010

PEMANFAATAN BIO ETANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR PENGGANTI BENSIN

PEMANFAATAN BIO ETANOL
SEBAGAI BAHAN BAKAR PENGGANTI BENSIN

I. LATAR BELAKANG
Kebutuhan bahan bakar minyak dewasa ini semakin meningkat, padahal telah diketahui bersama bahwa jumlah BBM semakin menipis. Oleh karena itulah diperlukan suatu sumber energi alternatif untuk menggantikan BBM yang semakin langka. Salah satu sumber energi yang dikembangkan yaitu bahan bakar dari bioetanol. Bioetanol yaitu etanol yang berasal dari sumber hayati dan mengandung pati seperti jagung, talas, tebu dll.
Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Ubi kayu, ubi jalar, dan. jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol atau gasohol.
Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi dll. Selain itu Bio-ethanol juga memiliki potensi sebagai bahan bakar alternatif. Untuk itu dilakukan berbagai pengembangan untuk mendapatkan Bio-ethanol yaitu memiliki grade sepadan dengan bahan bakar yang berada di pasar saat ini.

II. PERMASALAHAN
Dari uraian di atas kami memperoleh beberapa permasalahan yang akan dibahas kali ini yaitu :
1) Bagaimana proses pembuatan bioetanol?
2) Apakah kelebihan dari bioetanol tersebut disbandingkan dengan bensin?

III. TUJUAN
Tujuan yang ingin kami capai dari pembuatan artikel ini yaitu :
1) Mengetahui. proses pembuatan bioetanol
2) Mengetahui kelebihan dari bioetanol dan mampu membandingkannya dengan bensin.


IV. METODOLOGI
Potensi Pemanfaatan Bioetanol di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa etanol/bioetanol mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan dengan premium. Etanol/bioetanol apabila dicampur dengan premium dapat meningkatkan nilai oktan, dimana nilai oktan untuk etanol/bioetanol 98% adalah sebesar 115, selain itu mengingat etanol/bioetanol mengandung 30% oksigen, sehingga campuran etanol/bioetanol dengan gasoline dapat masuk katagorikan high octane gasoline (HOG), dimana campuran sebanyak 15% bioetanol setara dengan pertamax (RON 92) dan campuran sebanyak 24% bioetanol setara dengan pertamax plus (RON 95). Hal itu menunjukkan bahwa bio-ethanol dapat dimanfaatkan sebagai aditif pengganti MTBE untuk meningkatkan efisiensi pembakaran dan menghasilkan gas buang yang lebih bersih.
Pada tahun 2003, pasar HOG menurut Pertamina adalah sebesar 1750 kl/hari, dimana 1400 kl/hari berasal dari pertamax (RON 92) dan 350 kl/hari berasal dari pertamax plus (RON 95). Pada tahun yang sama etanol diperkirakan dapat memasok 294 kl/hari, dimana 210 kl/hari etanol yang dipasok setara dengan pertamax (RON 92) dan 84 kl/hari etanol yang dipasok setara dengan pertamax plus (RON 95). Apabila pada tahun 2013, diperkirakan pasar HOG dan etanol meningkat 10 kali lipat terhadap tahun 2003, sehingga dapat dipastikan bio¬etanol berpotensi untuk diproduksi dan dimanfaatkan. Potensi pemanfaatan bioetanol sebagai pengganti Pertamax dan Pertamax Plus di Indonesia Walaupun etanol/bioetanol mempunyai nilai oktan (octane rating) lebih tinggi dan emisi yang lebih bersih dibanding premium, namun etanol/bioetanol juga mempunyai sifat korosif dan membuat mesin lebih sulit distarter. Sifat korosif ini menyebabkan diperlukannya material yang tahan korosif pada peralatan-peralatan tertentu seperti, tanki bahan bakar, karburator, pipa-pipa, karet-karet penyekat dan Iain-lain peralatan. Sedangkan kesulitan dalam starter ini memang sulit dihindari, karena temperatur pembakaran sendiri/flash point etanol yang tinggi sehingga pembakaran secara homogen akan sulit tercapai pada tekanan kompresi di ruang bakar, khususnya pada mobil lama yang menggunakan karburator konvensionil. Oleh karena itu, penggunaan campuran Bioetanol dalam premium dibatasi antara 5 - 25% agar kinerja mesin tidak terlalu berbeda, sedangkan pemakaian campuran yang lebih besar harus menggunakan mesin yang sudah dimodifikasi atau mesin yang khusus untuk pemakaian etanol.
Penggunaan Bio-ethanol sebagai pengganti atau substitusi Premium telah dilaksanakan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda, New Zaeland, Brazilia serta banyak negara lain, tetapi hanya Brazilia dan Amerika Serikat yang telah menerapkan teknologi mesin kendaraan untuk etanol 85% (ESS) secara komersial. Di Amerika Serikat.sejumlah 3 juta kendaraan dengan sistem dual fuel atau FFV (Flexible Fuel Vehicles) telah menggunakan E85 yang dipasarkan melalui sekitar 240 SPBU.

V. CARA KERJA
Produksi etanol/bioetanol (alcohol) dengan bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat dan tetes menjadi bioetanol.Selain tanaman yang mengandung karbohidrat,bioetanol juga dapat dibuat dari tanaman yang mengandung selulosa .Secara singkat teknologi proses produksi etanol/bioetanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap,yaitu gelatinasi, fermentasi, dan distilasi.
A. Proses Gelatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
• Bubur pati dipanaskan sampai 1300C selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 950C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 1/4 jam. Temperatur 950C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 1/4 jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
• Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 1300C selama 2 jam.
Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 950C aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (1300C) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan enzyme termamyl) pada temperature 1300C menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 1300C akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC. Seiain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 930C, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 1070C, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 550 C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.
B. Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Etanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut periu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperiukan.
Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gasgas antara lain C02 (yang ditimbulkan dari pengubanan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang periu dibersihkan. Gas C02 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, etanol/bioetanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring etanol/bioetanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh etanol/bioetanol yang bersih dari gas C02). Kadar etanol/bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh etanol yang berkadar alkohol 95 persen diperiukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column
C. Distilasi
Sebagai mana telah diuraikan, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat digunakan sebagai bahan bakar. Proses distilasi dilakukan dengan memperhitungkan perbedaan titik didih air dan alkohol.


VI. HASIL
Alkohol/bioetsnol dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, dilakukan melalui proses konvensi karbohidrat menjadi glukosa. Proses pembuatan glukosa dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzim. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau fermentasi glukosa menjadi etanol dengan menambahkan ragi.
VII. KESIMPULAN
Dari uraian di atas kami memperoleh kesimpulan :
Karena etanol memiliki angka oktan yang lebih tinggi daripada bensin maka perbandingann kompresi yangh bias dipakai juga lebih tinggi dan efisiensi thermal teoritisnya akan lebih tinggi.
Etanol dapat terbakar lebih sempurna sehingga gas buang lebih ramah lingkungan

Tidak ada komentar: